Kamis, 15 Desember 2011

Asa di Desa Kembang Langit

Onggokan kayu itu semakin tinggi.  Tidak terasa sudah 3 jam tiga anak desa ini bekerja mengumpulkan kayu bakar di ujung jalan setapak menuju hutan. Tiap tetesan keringat tak kuasa menahan semangat mereka. Gurauan dan canda mengisi waktu yang terus bergulir. Tak sedikitpun rona lelah tersirat.

Yah.. akhirnya mereka selesaikan tiga susun kayu yang rapih lalu mulai mengikat di masing masing bahu.  Uppps… ada beberapa potong kayu yang terlepas saat berjalan dengan terhuyung-huyung.. sekali lagi mereka tidak merasa sedih atau kecewa.  Kembali aku menerawang, lantass… apa yang membuat semua ini menjadi sangat mudah bagi mereka?

Jawabannya cuma satu..  lakukanlah semua itu dengan rasa ikhlas, tanpa beban dan tentunya dengan semangat yang tinggi.  Hidup bagi anak anak ini bagaikan roda yang terus berjalan tanpa harus antagonis dan skeptis dengan pergerakannya. Mereka menapaki setiap rel kehidupan dengan fleksibilitas yang tinggi dan mensyukuri apa yang dihadapinya. Di dalam benak mereka hanya ada satu, bagaimana mengisi hidup ini dan membiarkan waktu itu berlalu. Ari, Roni dan Agus memang sosok yang lugu, tapi mereka tetaplah anak manusia yang mempunyai cita cita dengan segala keterbatasan yang ada.

“Aku mau menjadi dokter”, kilah Agus.
“Aku juga mau jadi Direktur”, selak Roni tidak mau kalah.
“Ah masaaa” , “Apa kalian yakin?” saut Ari
“hey ri.. kan tidak ada larangan punya cita cita apapun”, “kata ibuku juga, cita cita itu harus ada dan setinggi tinggi nya”, “terus kamu mau jadi apa? Punya cita cita tidak” Agus setengah memaksa.
“Hmmm.. aku apa yah…” Ari sedikit berfikir..,
“Mau jadi presiden sekarang susah sekali” berkilah dengan muka sedikit murung…
”Mau jadi insinyur, sekolahnya mahal” matanya nanar,
“Aahhh.. Aku sih terserah Alloh saja mau jadi apa, yang penting bisa menjadi pahlawan di keluargaku” celetuk Ari sambil mengencangkan pegangan ikat kayu di bahunya. Tapi di sela keheningan jalan, Ari mencoba mengadahkan kepala, lalu secara tidak sadar dia berdoa, “Ya Alloh, aku juga ingin jadi dokter seperti yang agus mau, berikanlah mukzizat Mu karena aku yakin Engkau maha pengasih”. Setetes air mata lalu terjatuh di pipinya, tergambar di benaknya kesulitan ekonomi orang tua yang memang di bawah ambang kemiskinan. Lalu dia kembali menengadah ke atas dan bergumam, “aku yakin aku bisa karena Alloh”, ”Abah..Ambu… aku ingin jadi kebanggaanmu” lalu Ari mengusap muka dengan tangan kanannya sembari mengucap “Amin”.

Tiga anak manusia itu telah meninggalkan jalan hutan dan masuk ke area persawahan.. matahari mulai bergulir di ufuk barat. Mereka lalu berhenti menatap matahari kemudian saling menatap. Tanpa aba-aba lalu mengacungkan lengan ke atas dan berteriak.. “Akuuuu bisaaaaa”….
Rupanya bukan hanya Ari, Agus dan Roni pun merenung dan berdoa sepanjang jalan..  yah.. cita-cita… itu yang saat ini mereka punya selain baju dan sedikit barang tidak berharga. Mudah mudahan mereka mendapatkan apa yang di cita-citakan nya, Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar